Bahasa Alay
“Terus, gue mesti bilang WOW, gitu?”
“Ciyus? Enelan? Miapah?”
“L!k3 st4tz aqwh eaapz”
“Mupph1n 4khuw”
Kalimat-kalimat diatas adalah
contoh Pembinasaan Bahasa Indonesia di dalam negeri dari sisi EYD
maupun norma, etika dan adat berbicara timur yang terkenal dengan
kesopanannya. Kalimat-kalimat diatas lebih dikenal di Indonesia sebagai Bahasa
Alay, atau di dunia IT dua kalimat terakhir disebut Bahasa
Hacker. Tidak ada yang tahu persis bagaimana asal mula dari merebaknya
bahasa alay ini.
Ada yang menyebut dimulai dari bahasa
pergaulan para banci salon. Ada lagi yang menyebut karena pengaruh layanan
pesan singkat handphone (SMS) yang memaksa penggunanya untuk menyingkat kata
sesingkat mungkin apabila ingin menulis pesan yang agak panjang. Pandangan lain
menyatakan bahwa faktor psikologis remaja zaman sekarang dan didukung oleh
perkembangan teknologi turut mendukung berkembangnya penggunaan bahasa ini.
Mungkin pada awalnya bahasa alay hanya
ada pada tata cara penulisan di SMS. Penulisan “yang” disingkat
menjadi “yg”, “seseorang” menjadi “ssorg”, “tanggung
jawab” menjadi “tgg jwb”, dan banyak lagi. Dari awalnya yang
menggunakan huruf-huruf yang “normal” dan masih dalam
batas “kewajaran”, mulailah masuk “bahasa hacker” yang
menggabungkan antara alphabet dengan angka dan simbol-simbol.
Penggunaan bahasa hacker dimaksudkan
untuk keamanan password akun seperti email agar tidak mudah dibobol oleh hacker karena password dengan
kombinasi huruf-angka-simbol dianggap sebagai password yang
paling sulit (hampir mustahil) untuk dibobol. Beberapa saran dari praktisi IT
menyebutkan bila ingin password yang aman dan mudah diingat maka gunakanlah
angka atau simbol sebagai pengganti alphabet.
Contohnya, bila ingin
password “Jakarta Raya” menjadi password yang tangguh,
maka penulisannya bisa seperti “J4k4rt4 R4y4” atau kombinasi model
lainnya.
Namun, dalam perkembangannya password
“Jakarta Raya” seperti mulai di-gemuk-kan menjadi, contoh: “Jh4kart@
Rhayh@4”. Atau dengan model lainnya (maaf saya tidak terlalu ahli dalam membuat
penulisan bahasa alay tingkat akut).
Nah, dari perkembangan seperti ini bahasa
alay mulai dikenal dengan ciri-ciri tulisannya yang menggunakan simbol, angka
(seperti plat nomor) dan ejaan yang berubah dan di-gemuk-kan. Contoh paling
ekstrim saya menemukan nama akun facebook seseorang yang ditulis seperti
berikut:
- Aponkk Ciiguardiannaangell Mencaricciintassejati
- Afief Hatecoffeebutlikecoffeetheory
- Bebyameliacayankridhomulyadie
Dengansepenuhhati Kanselalucayankridho
- Sherllyghibitiyahaliyah
Lorenciiabenciitmendmunapik SyngmamhMahessadrofwanted
- Abiiee Chayank Zack
Chellalu Clamhannya
- ZrieeYgsllcayankcienta
AA’pholepel
Seperti itu lah, belum ditambahkan dengan
angka dan simbol saja sudah bikin mata dan otak pusing. Entah dengan maksud
seperti apa para alay-ers -sebutan untuk orang alay- sengaja
memilih kata-kata seperti ini. Salah satu pengguna bahasa ini
pernah saya temui di jalan ketika saya sedang menunggu kereta saat pulang
kuliah. Setelah berbincang sejenak, saya iseng bertanya mengapa dia yang masih
SMP itu sengaja menggunakan bahasa alay. Jawabannya klise,
sederhana, namun membuat saya menggeleng-gelengkan kepala: “Biar gue keren
ama eksis, bang”. Waah.
Disamping bahasa alay dalam bentuk
tulisan, pelencengan bahasa Indonesia dalam bentuk “lisan” juga sudah
marak. Tetap dengan label “bahasa alay”, hanya saja beda penerapannya.
Saya ambil contoh kalimat yang
sedang trend, yaitu:
“Ciyus? Enelan? Miapah?” (Serius? Beneran? Demi apa?) dan
“Trus, gue mesti koprol sambil bilang
‘wow’, gitu?”
Kalimat pertama entah muncul dari mana
asalnya dan siapa yang memulainya. Yang saya tangkap dari kalimat yang bertanya
tiga kali itu bernada seperti anak balita yang baru belajar berbicara. Kalimat
diatas mulai terkenal lewat media sosial seperti twitter dan facebook dan
merambah ke ranah pergaulan lisan sehari-hari di kalangan remaja. Kesan yang
ditimbulkan dari penggunaan kalimat diatas, menurut saya seperti orang yang
tidak percaya tapi dengan ekspresi yang “merendahkan”.
Bayangkan, bila anda misalkan berbincang
dengan figur terkenal. Seorang produser misalnya. Dan anda berbicara dengan
teman anda bahwa anda sesaat yang lalu anda berbincang dengan seorang produser
terkenal. Lalu rekan anda mengatakan:“Ciyus? Enelan? Miapah?”, tentu
dengan mimik antara tidak percaya, iri dan merendahkan karena hampir semua yang
mengatakan ini menggunakan mimik dan nada bicara yang sama. Bagaimana perasaan
anda? Pasti jengkel, kecuali anda kurang normal.
Lebih parah lagi bila teman anda
berkata “Trus, gue mesti koprol sambil bilang ‘wow’, gitu?”. Secara
langsung kalimat ini terang-terangan menunjukkan rasa tidak menghargai dan
menghina bila anda menganggap pembicaraan anda serius dan bukan suatu candaan
sama sekali.
Saya masih teringat ketika saya mendapat
nilai bagus dalam ulangan sewaktu Sekolah Dasar beberapa tahun yang lalu dan
saya memberitahukannya kepada teman-teman saya. Mereka mengucapkan selamat dan
berbahagia bersama saya, dengan beberapa diantaranya menantang untuk
berkompetisi di ulangan yang berikutnya.
Namun lihat pada masa sekarang, begitu ada
yang mengumumkan kalau dia mendapat nilai bagus saat ulangan, balasannya antara
dua kalimat alay diatas. Alhasil secara psikologis, ia merasa
usahanya sama-sekali tidak dihargai dan sia-sia. Di sisi yang mengatakan,
secara perlahan ia menumbuhkan sifat iri dan kurang menghargai karena
pengucapan kalimat-kalimat tersebut hampir dipastikan dengan suara ketus dan
ekspresi dan gaya bahasa merendahkan.
Inilah bahaya negara Indonesia hanya dari
segi bahasa saja. Memang banyak orang yang membenci penggunaan bahasa ini. Tapi
kalau hanya sekadar dibenci, dicaci dan semacamnya hanya akan menyuburkan
“pembinasaan bahasa” ini. Perlu ada sebuah gerakan nyata untuk menghilangkan
kebiasaan buruk ini sebelum menjadi sebuah “budaya” yang memalukan.
Pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan
di institusi pendidikan mesti digalakkan dan dikembangkan bukan hanya dari sisi
teori, namun dari sisi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi
mengingat bahasa alay sudah mulai menggabungkan dengan bahasa
asing, terutama bahasa inggris karena trend bahasa Inggris semakin marak.
Memudarnya Kemauan Berbahasa Indonesia
Sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan
asing yang menerapkan standar bahasa Inggris lisan dan tulisan. Dibuktikan
dengan perolehan nilai TOEFL dari lembaga-lembaga resmi. Entah kenapa saya
melihat ini hanya penjajahan modern. Bagaimana bisa perusahaan asing yang
membuka cabangnya di Indonesia mengharuskan karyawannya yang orang Indonesia
harus bisa bahasa mereka. Bila diumpamakan, anda menerima tamu di rumah anda.
Namun anda harus mengikuti kebiasaan tamu anda itu. Sungguh ironis dan lucu
Indonesia ini.
Apalagi dengan bermunculannya Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) dan rintisannya (RSBI). Sekolah-sekolah itu
menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Saya merasakan sendiri
karena sewaktu saya sekolah, SMK saya adalah RSBI (sekarang sudah SBI).
Penekanan berbahasa Inggris sungguh ditekankan, sedangkan bahasa Indonesia
–menurut pandangan saya- dianggap hanya sebagai hiasan pelengkap saja sebagai
mata pelajaran Ujian Nasional. Bahasa Indonesia juga seperti di-anak-tiri-kan,
dengan perlakuan yang berat sebelah. Contoh, lebih banyak sekolah dengan lab
bahasa inggris dibandingkan lab bahasa Indonesia.
Proyeksi sekolah RSBI dan SBI ini adalah
mencetak siswa yang kompeten di lapangan kerja. Oke, memang itu bagus. Tapi di
sisi bahasa Indonesia, kurikulum pengajarannya seolah menghancurkan bahasa
Indonesia dengan meng-anak-tiri-kannya dengan bahasa Inggris. SBI adalah
“Sekolah Bertaraf Internasional”, bukan “Sekolah Internasional”. Di negara
Jepang sana, universitas sekelas Universitas Tokyo (Tokyo University/Todai) saja
meskipun berkelas internasional tetap menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa
sehari-hari. Bahasa inggris “hanya” digunakan disaat tertentu saja, seperti di
mata kuliah bahasa Inggris. Sisanya tetap menggunakan bahasa Jepang.
Dimanakah jiwa nasionalisme kita yang
sesungguhnya saat ini?
Apakah nasionalisme kita baru tergerak
bila kita terang-terangan dijatuhkan oleh orang asing?
Sadarkah kalau sudah sering jiwa
nasionalisme kita digadai demi kepentingan imperialis asing?
Banggakah kita bila nilai-nilai dan
kebudayaan Indonesia tergerus westernisme?
Mengapa kita selalu latah dan bangga
dengan budaya luar, sedangkan budaya sendiri dibiarkan begitu saja padahal
bangsa asing begitu menilai tinggi?
Sumber : Blog Ian Frisky