Wednesday, 24 October 2012

Bahasa Indonesia | Perkembangan Bahasa Indonesia Pada Masa Sekarang

Bahasa Alay


“Terus, gue mesti bilang WOW, gitu?”
“Ciyus? Enelan? Miapah?”
“L!k3 st4tz aqwh eaapz”
“Mupph1n 4khuw”


Kalimat-kalimat diatas adalah contoh Pembinasaan Bahasa Indonesia di dalam negeri dari sisi EYD maupun norma, etika dan adat berbicara timur yang terkenal dengan kesopanannya.  Kalimat-kalimat diatas lebih dikenal di Indonesia sebagai Bahasa Alay, atau di dunia IT dua kalimat terakhir disebut Bahasa Hacker. Tidak ada yang tahu persis bagaimana asal mula dari merebaknya bahasa alay ini.

Ada yang menyebut dimulai dari bahasa pergaulan para banci salon. Ada lagi yang menyebut karena pengaruh layanan pesan singkat handphone (SMS) yang memaksa penggunanya untuk menyingkat kata sesingkat mungkin apabila ingin menulis pesan yang agak panjang. Pandangan lain menyatakan bahwa faktor psikologis remaja zaman sekarang dan didukung oleh perkembangan teknologi turut mendukung berkembangnya penggunaan bahasa ini.

Mungkin pada awalnya bahasa alay hanya ada pada tata cara penulisan di SMS. Penulisan “yang” disingkat menjadi “yg”, “seseorang” menjadi “ssorg”, “tanggung jawab” menjadi “tgg jwb”, dan banyak lagi. Dari awalnya yang menggunakan huruf-huruf yang “normal” dan masih dalam batas “kewajaran”, mulailah masuk “bahasa hacker” yang menggabungkan antara alphabet dengan angka dan simbol-simbol.

Penggunaan bahasa hacker dimaksudkan untuk keamanan password akun seperti email agar tidak mudah dibobol oleh hacker karena password dengan kombinasi huruf-angka-simbol dianggap sebagai password yang paling sulit (hampir mustahil) untuk dibobol. Beberapa saran dari praktisi IT menyebutkan bila ingin password yang aman dan mudah diingat maka gunakanlah angka atau simbol sebagai pengganti alphabet.

Contohnya, bila ingin password “Jakarta Raya” menjadi password yang tangguh, maka penulisannya bisa seperti “J4k4rt4 R4y4” atau kombinasi model lainnya.

Namun, dalam perkembangannya password “Jakarta Raya” seperti mulai di-gemuk-kan menjadi, contoh: “Jh4kart@ Rhayh@4”. Atau dengan model lainnya (maaf saya tidak terlalu ahli dalam membuat penulisan bahasa alay tingkat akut).

Nah, dari perkembangan seperti ini bahasa alay mulai dikenal dengan ciri-ciri tulisannya yang menggunakan simbol, angka (seperti plat nomor) dan ejaan yang berubah dan di-gemuk-kan. Contoh paling ekstrim saya menemukan nama akun facebook seseorang yang ditulis seperti berikut:




Aponkk Ciiguardiannaangell Mencaricciintassejati
Afief Hatecoffeebutlikecoffeetheory
Bebyameliacayankridhomulyadie Dengansepenuhhati Kanselalucayankridho
- Sherllyghibitiyahaliyah Lorenciiabenciitmendmunapik SyngmamhMahessadrofwanted
- Abiiee Chayank Zack Chellalu Clamhannya
- ZrieeYgsllcayankcienta AA’pholepel




Seperti itu lah, belum ditambahkan dengan angka dan simbol saja sudah bikin mata dan otak pusing. Entah dengan maksud seperti apa para alay-ers -sebutan untuk orang alay- sengaja memilih kata-kata seperti ini. Salah satu pengguna bahasa ini pernah saya temui di jalan ketika saya sedang menunggu kereta saat pulang kuliah. Setelah berbincang sejenak, saya iseng bertanya mengapa dia yang masih SMP itu sengaja menggunakan bahasa alay. Jawabannya klise, sederhana, namun membuat saya menggeleng-gelengkan kepala: “Biar gue keren ama eksis, bang”. Waah.

Disamping bahasa alay dalam bentuk tulisan, pelencengan bahasa Indonesia dalam bentuk “lisan” juga sudah marak. Tetap dengan label “bahasa alay”, hanya saja beda penerapannya.

Saya ambil contoh kalimat yang sedang trend, yaitu:

“Ciyus? Enelan? Miapah?” (Serius? Beneran? Demi apa?) dan

“Trus, gue mesti koprol sambil bilang ‘wow’, gitu?”



Kalimat pertama entah muncul dari mana asalnya dan siapa yang memulainya. Yang saya tangkap dari kalimat yang bertanya tiga kali itu bernada seperti anak balita yang baru belajar berbicara. Kalimat diatas mulai terkenal lewat media sosial seperti twitter dan facebook dan merambah ke ranah pergaulan lisan sehari-hari di kalangan remaja. Kesan yang ditimbulkan dari penggunaan kalimat diatas, menurut saya seperti orang yang tidak percaya tapi dengan ekspresi yang “merendahkan”.

Bayangkan, bila anda misalkan berbincang dengan figur terkenal. Seorang produser misalnya. Dan anda berbicara dengan teman anda bahwa anda sesaat yang lalu anda berbincang dengan seorang produser terkenal. Lalu rekan anda mengatakan:“Ciyus? Enelan? Miapah?”, tentu dengan mimik antara tidak percaya, iri dan merendahkan karena hampir semua yang mengatakan ini menggunakan mimik dan nada bicara yang sama. Bagaimana perasaan anda? Pasti jengkel, kecuali anda kurang normal.

Lebih parah lagi bila teman anda berkata “Trus, gue mesti koprol sambil bilang ‘wow’, gitu?”. Secara langsung kalimat ini terang-terangan menunjukkan rasa tidak menghargai dan menghina bila anda menganggap pembicaraan anda serius dan bukan suatu candaan sama sekali.

Saya masih teringat ketika saya mendapat nilai bagus dalam ulangan sewaktu Sekolah Dasar beberapa tahun yang lalu dan saya memberitahukannya kepada teman-teman saya. Mereka mengucapkan selamat dan berbahagia bersama saya, dengan beberapa diantaranya menantang untuk berkompetisi di ulangan yang berikutnya.

Namun lihat pada masa sekarang, begitu ada yang mengumumkan kalau dia mendapat nilai bagus saat ulangan, balasannya antara dua kalimat alay diatas. Alhasil secara psikologis, ia merasa usahanya sama-sekali tidak dihargai dan sia-sia. Di sisi yang mengatakan, secara perlahan ia menumbuhkan sifat iri dan kurang menghargai karena pengucapan kalimat-kalimat tersebut hampir dipastikan dengan suara ketus dan ekspresi dan gaya bahasa merendahkan.

Inilah bahaya negara Indonesia hanya dari segi bahasa saja. Memang banyak orang yang membenci penggunaan bahasa ini. Tapi kalau hanya sekadar dibenci, dicaci dan semacamnya hanya akan menyuburkan “pembinasaan bahasa” ini. Perlu ada sebuah gerakan nyata untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini sebelum menjadi sebuah “budaya” yang memalukan.

Pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan di institusi pendidikan mesti digalakkan dan dikembangkan bukan hanya dari sisi teori, namun dari sisi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi mengingat bahasa alay sudah mulai menggabungkan dengan bahasa asing, terutama bahasa inggris karena trend bahasa Inggris semakin marak.


Memudarnya Kemauan Berbahasa Indonesia

Sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan asing yang menerapkan standar bahasa Inggris lisan dan tulisan. Dibuktikan dengan perolehan nilai TOEFL dari lembaga-lembaga resmi. Entah kenapa saya melihat ini hanya penjajahan modern. Bagaimana bisa perusahaan asing yang membuka cabangnya di Indonesia mengharuskan karyawannya yang orang Indonesia harus bisa bahasa mereka. Bila diumpamakan, anda menerima tamu di rumah anda. Namun anda harus mengikuti kebiasaan tamu anda itu. Sungguh ironis dan lucu Indonesia ini.

Apalagi dengan bermunculannya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan rintisannya (RSBI). Sekolah-sekolah itu menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Saya merasakan sendiri karena sewaktu saya sekolah, SMK saya adalah RSBI (sekarang sudah SBI). Penekanan berbahasa Inggris sungguh ditekankan, sedangkan bahasa Indonesia –menurut pandangan saya- dianggap hanya sebagai hiasan pelengkap saja sebagai mata pelajaran Ujian Nasional. Bahasa Indonesia juga seperti di-anak-tiri-kan, dengan perlakuan yang berat sebelah. Contoh, lebih banyak sekolah dengan lab bahasa inggris dibandingkan lab bahasa Indonesia.

Proyeksi sekolah RSBI dan SBI ini adalah mencetak siswa yang kompeten di lapangan kerja. Oke, memang itu bagus. Tapi di sisi bahasa Indonesia, kurikulum pengajarannya seolah menghancurkan bahasa Indonesia dengan meng-anak-tiri-kannya dengan bahasa Inggris. SBI adalah “Sekolah Bertaraf Internasional”, bukan “Sekolah Internasional”. Di negara Jepang sana, universitas sekelas Universitas Tokyo (Tokyo University/Todai) saja meskipun berkelas internasional tetap menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa inggris “hanya” digunakan disaat tertentu saja, seperti di mata kuliah bahasa Inggris. Sisanya tetap menggunakan bahasa Jepang.
Dimanakah jiwa nasionalisme kita yang sesungguhnya saat ini?

Apakah nasionalisme kita baru tergerak bila kita terang-terangan dijatuhkan oleh orang asing?

Sadarkah kalau sudah sering jiwa nasionalisme kita digadai demi kepentingan imperialis asing?

Banggakah kita bila nilai-nilai dan kebudayaan Indonesia tergerus westernisme?

Mengapa kita selalu latah dan bangga dengan budaya luar, sedangkan budaya sendiri dibiarkan begitu saja padahal bangsa asing begitu menilai tinggi?

Kemanakah semangat Sumpah Pemuda 1928?

Sumber : Blog Ian Frisky

No comments:

Post a Comment